Proses Pilkades Tomra Dinilai Sangat Aneh di Indonesia

Tiakur, Wartamaluku.com – Masyarakat Desa Tomra yang mengatasnamakan Tim Pengusung Kepala Desa terpilih desa Tomra, kecamatan Letti, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) yakni Kaupnu Day Merpaty, Matyoe Orwawne, Romna Krasne menilai proses pemilihan kepala desa Tomra sangat aneh bahkan mungkin baru pertama kali terjadi di Indonesia.

Pasalnya, Badan Permusyawaratan Desa yang mempunyai tugas yakni menetapkan hasil pemilihan telah mengambil keputusan dengan berjalan membawa daftar hadir ke masing – masing keluarga, tua – tua adat untuk menanyakan kembali bahwa setuju tidak untuk pelantikan Kepala Desa Terpilih, dan hasilnya hampir semua masyarakat, tua – tua adat menyetujui adanya pelantikan. Yang lebih aneh lagi berkas itu dikembalikan ke desa untuk menanyakan kepada pihak yang kalah setuju tidak untuk lantik Kades Terpilih. Bukannya pemenang itu harus dilantik??.

“BPD kemarin masuk ke setiap keluarga, tua-tua adat untuk menanyakan bahwa setuju dilantik kepala desa terpilih atau tidak dan hasilnya ternyata yang setuju lebih banyak daripada yang tidak setuju”, ungkap perwakilan tiga mata rumah Kaupnu Day Merpaty, Matyoe Orwawne, Romna Krasne kepada media ini, jumat, 03/01/2020.

Menurutnya, apa yang dilakukan oleh BPD itu bagus namun ternyata dari pihak yang sudah dinyatakan kalah itu, mengambil daftar tersebut entah disobek atau tidak.

“Namun, informasi yang kami dengar katanya daftar itu disobek lantaran yang tidak menyetujui itu terlalu sedikit. Karena itu, BPD meminta kembali untuk melakukan pertemuan ulang pada hari sabtu tanggal 04/01/2020.

Untuk diketahui, Badan Permusyawaratan Desa ini memiliki tugas yakni menetapkan hasil pemilihan dan hasil itu sudah ditetapkan pada 12 November 2019 lalu namun, karena ada gugatan dari Marantipru tentang penolakan sehingga berkas itu dikembalikan lagi guna meminta persetujuan masyarakat.

“Awal proses Pilkades itu Marantipru ini sudah menyeleksi dan menyetujui calon-calon yang ada kemudian diberikan kepada panitia seleksi untuk melakukan pesta demokrasi”, ujarnya.

Dijelakan, dulunya Marantipru ini memiliki kewenangan untuk menunjuk raja. Tetapi sudah puluhan tahun ini proses Kepala Desa itu sudah melalui Pemilihan Umum. Tetapi masih ada kewenangan dari Marantipru untuk melakukan seleksi dan menyetujui calon – calon yang akan bertarung. Dan hal itu sudah dilakukan Bahkan di situ pun ada perwakilan calon dari Manrantipru itu sendiri.

“Jadi saat kalah mereka memakai kekuasaan itu untuk menolak hasil pemilihan, bagi kami hal ini sudah tidak benar. Karena mereka juga ikut menyusung calon kepala desa. Artinya ada perwakilan dari Marantipru itu sendiri. Kalau memang mau untuk penunjukan kenapa dari awal tidak dilakukan, kenapa baru sekarang minta untuk melakukan penunjukan?
Jadi kalau mau seperti itu harusnya dari awal proses pemilihan itu sudah menolak untuk melakukan pemilihan, jangan datang kalah baru memakai kekuasaan untuk menggugurkan hasil. Jadi kita sebagai pemenang merasa sangat dirugikan sekali”, katanya.

Dijelaskan, proses pemilihan saat itu berlangsung aman, namun, ketika perwakilan dari Marantipru ini dinyatakan kalah, mereka mulai memakai kewenangan itu untuk mau menggugurkan Peraturan Daerah yang berlaku.

Karena itu, masyarakat berharap Bupati Kabupaten Maluku Barat Daya secepatnya mengambil keputusan tegas untuk melantik atau tidak kepala desa Tomra.

“Kami sangat berharap pak Bupati secepatnya mengambil keputusan untuk melantik kepala desa terpilih. Memang sesuai pertemuan kami dengan pak Sekda itu, pelantikannya akan dilaksanakan pada tanggal 07 Januari jadi kita tunggu saja”, harapnya.

Ketika ditanyai soal keamanan saat ini di desa Tomra, menurutnya masih aman – aman saja namun, yang ditakutkan pada tanggal 07 Januari nanti apabila tidak ada pelantikan. Tuturnya.

Untuk diketahui, Ornuse ini disebut Marantipru sedangkan Orlete itu yang punya Negeri mereka ini juga masing-masing mengusung calon kepala desa. Pada dasarnya saat mereka mengalami kekalahan kemudian mereka memakai kewenangan sebagai Orlete dan Ornuse untuk menolak hasil pemilihan.

Marantipru ini dulunya mereka itu yang menunjuk raja. Tetapi sudah puluhan tahun ini sistemnya bukan penunjukan lagi tetapi pemilihan langsung.

“Jadi menurut kami pemilihan model ini mungkin baru pertama kali di Indonesia. Karena sudah selesai pemilihan, berkasnya dikembalikan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk kembali dan menanyakan lagi kepada masyarakat setuju atau tidak melakukan pelantikan. Bagi kami ini aneh”. Ungkapnya. (WM)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *