Negara Indonesia Milik Bersama, Bukan Parpol Dan DPR Saja

Ambon, Wartamaluku.com – Anggota DPD RI daerah pemilihan Maluku, Jhon Pieris ungkapkan kekecewaannya atas revisi Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan dpd,yang biasa disebut MD3 .Pieris menegaskan, negara Indonesia milik bersama, bukan parpol dan DPR.

Diketahui, revisi tersebut mulai berlaku secara efektif, hari Rabu kemarin (14/03/2018) dengan atau tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo.

“Negara milik bersama, bukan milik partai politik,bukan saja milik DPR. Tapi ,milik semua stakeholder bangsa ini.Revisi ini, adanya kepentingan yang kental sekali. Bukan kepentingan jangka panjang keutuhan bangsa dan negara. Jadi, hanya dibuat aturan untuk menampung keinginan seseorang,
sarat dengan kepentingan politiknya ,”tegas Pieris kepada media ini, Jumat pagi (16/03/2018) di Manise Hotel, Ambon.

Kendati demikian, dirinya mengaku, memang betul bahwa Undang-Undang itu konsensus dari kepentingan-kepentingan politik. Tapi kami merasa bahwa kepentingan politik DPD tidak terekomendasi. Jadi dengan begitu maka DPR itu, lembaga super body yang total power. Bisa memanggil paksa pihak-pihak yang
melecehkan lembaga ini. Jadi dia seperti Penyidik.

” Bagaimana parlemen jadi penyidik? Tidak bisa. Parlemen jadi Penyidik itu masalah internal,seperti kode etik Anggota dan apapun yang bersifat internal,”herannya.

Pieris menuturkan, dalam proses itu, DPD tidak dilibatkan secara maksimal. Ingatnya, yang terlihat disitu harusnya, MPR, DPR, DPD, dan Asosiasi DPRD provinsi,namanya MD3,supaya empat unsur ini diminta pandangannya.

“Namanya MD3,pasti empat unsur yang diminta pandangannya. Kalau hanya Presiden dan DPR saja otomatis kepentingan DPR yang dominan diperjuangkan. Ini negara demokrasi. Jadi ,proses pembuatan MD3 itu, juga tidak demokratis menurut pendapat Saya. Patrikreasi (pemerintahan oleh parpol) bukan demokrasi.
Itu yang Saya sesalkan sebagai Anggota DPD RI dapil Maluku,legitimasinya tidak kuat,”sebutnya.

Ditambahkan pula olehnya, betul bahwa Undang-Undang produk politik, karena dibuat oleh lembaga-lembaga politik.Tapi sebenarnya juga secara etis, UU juga produk peradaban,produk etika dan moral, supaya hasilnya itu memuaskan semua pihak. Sehingga ,terpenuhi unsur kepuasan sosiologisnya. Artinya ,masyarakat menerima itu, tidak ada resistensinya.

“Ternyata sekarang masyarakat tidak setuju dengan revisi itu. Tidak semua masyarakat. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang kritis tidak setuju. Karena prosesnya tidak demokratis,”tutur Pieris. (WM-UVQ )

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *