Ambon, Wartamaluku.com – Gubernur Maluku Ir. Said Assagaff ingatkan para tenaga pendidik di daerah ini, untuk memiliki kemampuan penguasaan Information and Communication Technology (ICT).
Pernyataan tersebut disampaikan Gubernur Assagaff saat membuka Kegiatan Expo Bioma 17, Program Studi Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) IAIN Imam Rijali Ambon, Jumat (3/11).
Dia katakan, para anak didik yang merupakan kaum muda, merupakan sebagai segmen terbesar yang berjumlah sekitar 60% dari total jumlah penduduk di negera ini, dengan posisi dan peran sangat strategis dalam menentukan masa depan peradaban bangsa dan daerah ini.
“Untuk itu, upaya meningkatkan mutu pendidikan merupakan sebuah keniscayaan, karena pendidikan merupakan instrumen budaya yang punya pengaruh dan peran paling utama dalam menentukan kualitas atau kompetensi generasi muda kita, baik itu menyangkut hard competency maupun soft competency,” tandas Assagaff.
Terlebih, lanjut Assagaff, melihat kenyataan bahwa mereka sebagai Generasi Millenial atau generasi yang lahir sekitar tahun 1980-an – 2000-an,adalah generasi yang tidak bisa lepas teknologi, terutama internet dan entertainment (hiburan), bahkan kini sudah tumbuh menjadi kebutuhan pokok mereka.
“Maka tak mengherankan dalam proses pembelajaran para guru dan dosen dituntut untuk memiliki kemampuan penguasaan Information and Communication Technology yang baik, untuk mengimbangi penguasaan teknologi oleh generasi milenial tadi,” ujarnya.
Karena sebagaimana diketahui bersama, sebut Assagaff, media internet sudah sangat familiar untuk untuk mahasiswa dan siswa, bahkan anak-anak SD pun sudah bisa bermain internet. “Tidak mengherankan anak-anak usia SMP dan SMA sudah sangat akrab dengan e-mail, dan account sosial media seperti facebook, twitter, instagram, blog dan lain sebagainya,” tutur Assagaff.
Tetapi pada sisi yang lain, dia katakan,dampak negatif yang terjadi terhadap generasi millenial ini pun sangat kompleks. “Antara lain, tumbuhnya mentalitas instant, contohnya, jika membaca buku jarang yang tuntas, karena membaca pada bagian yang ingin diketahui saja, sehingga pemahamannya terhadap satu buku tidak utuh.
Begitu juga, banyak terjadi plagiasi saat membuat artikel, makalah, jumal, dan skripsi, bahkan tak sedikit karya akademik setingkat tesis dan disertasi pun tak luput dari hasil plagiasi,” paparnya.
Lebih naif lagi, menurut Assagaff, dewasa ini generasi muda lebih mempercayai dan suka belajar pada sebuah fenomena beragama yang disebut sebagai “agama internet” atau “ulama internet, Kyai internet, Pendeta internet, atau Pastor internet, yang terkadang kompetensi dan keabsahan informasinya masih diragukan”, daripada mempercayai dan belajar pada ulama, kyai, ustaz, pendeta, dan pastor secara langsung.
“Maka tidak mengherankan, fenomena beragama seperti ini, sangat rentan terhadap proses cuci otak dan membuat generasi muda terjebak pada aliran sesat dan radikalisme agama,” kata Assagaff mengingatkan.
Demikian halnya, keterjebakan pada informasi-nformasi yang berbau sampah di media sosial, dalam bentuk ujaran-ujaran kebencian (hate speech), berita-berita bohong atau fitnah (hoaks), dinilai Assagaff, turut sangat mempengaruhi terbentuknya “musuh imajiner”, mental blok, yang nyaris menimbulkan disintegrasi bangsa ini.
Tuntutan profesionalisme dewasa ini, disebutnya, merupakan sebuah keniscayaan, jika tidak profesional, kita tidak akan diperhitungkan dalam era kompetisi global dewasa ini.
“Tapi satu hal yang perlu katong ingat, profesionalisme tidak mesti menjadikan katong hanya menjadi ahli di satu bidang, dan membuat katong buta terhadap bidang yang lain,” imbuhnya.
Keterjebakan dalam cara pandang seperti ini, menurut Assagaff, melahirkan “ilmuan tukang”. Padahal profesionalisme dewasa ini harus tetap berlandaskan pada paradigma, bahwa suatu keahlian tidak bisa dilepaskan dari bidang yang lain, terutama nilai-nilai kearifan hidup dan life skill.
Ada juga masalah lain yang menimpa generasi milenial ini, sebut Assagaff, yakni fenomena keterjebakan generasi muda pada mentalitas gerombolan. Dia menambahkan, generasi muda saat ini, juga lebih suka bergerombol atau manggurebe pada satu masalah atau bidang.
Misalnya fenomena maraknya generasi muda lebih suka bermain di ranah politik kekuasaan, daripada mengembangkan politik kekaryaan, politik kesejahteraan, dan life skill. Kalau di bidang ekonomi lebih suka bergerombol menjadi pemborong, daripada berusaha di sektor rill, serta pengembangan ekonomi kreatif.
Maka acara Expo Bioma ini, dinilainya, merupakan suatu respon yang cerdas dan tepat untuk menjawab pelbagai tantangan tersebut. Untuk itu, wahai anak-anakku, teruslah belajar dan teruslah berkarya. Karena dengan terus belajar dan berkarya sesungguhnya engkau sedang merancang masa depanmu.
Assagaff mengutip pesan filosof China kuno Lao Tze yang pernah berkata, “Perhatikan pikiranmu, karena perilaku akan berkembang menjadi kebiasaan”.
“Lao Tze juga katakan, perhatikan kebiasaanmu, karena kebiasaan akan berubah menjadi karakter, perhatikan karaktermu, karena karakter dapat menentukan nasibmu”, demikian Assagaff. (WM)