Ambon,wartamaluku.com- Masjid selain untuk ritual ibadah, harus juga berfungsi sebagai salah satu pusat peradaban Islam. Maka sejatinya umat Islam di Maluku, harus mampu memakmurkannya dan tampil di garda terdepan untuk melakukan kerja-kerja peradaban di tengah banyaknya masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang masih kompleks dewasa ini.
Geburnur Maluku Said Assagaff mengingatkan hal tersebut pada acara pencanangan tiang alif dan kubah serta peresmian Masjid Ishak Alhijriah, Dusun Kahena, Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau Ambon, Minggu (26/3).
“Umat Islam di maluku harus bisa ikut tampil di garda terdepan lewat kerja-kerja peradaban di tengah banyaknya masalah-masalah sosial kemasyarakatan seperti ancaman bahaya narkoba, HIV/Aids, kejahatan seksual, konfik, radikalisme dan kekerasan-kekerasan lainnya,” ujar Assagaff.
Melalui masjid sebagai salah satu pusat peradaban, menurut Assagaff, umat Islam juga dituntut menjadi pelopor dan bergandengan tangan dengan umat beragama yang lain di daerah ini, dalam rangka terus membangun dan memantapkan Maluku yang aman, Maluku yang rukun, Maluku yang religius, Maluku yang berkualitas dan Maluku yang demokratis. “Masjid sendiri menurut bahasa Arab artinya tempat bersujud. Sebagai tempat sujud, berarti masjid adalah bangunan peradaban,” terangnya.
Di periode Mekah maupun Madinah, Assagaff kisahkan, masjid sudah menjadi pusat peradaban umat. Bukan hanya sebagai tempat pelaksanaan sholat atau ibadah-ibadah ritual saja. Tetapi juga fungsi-fungsi sosial, antara lain sebagai pusat pemerintahan. Pada konteks ini fungsi masjid punya posisi sangat penting dan sangat strategis sebagai modal sosial dalam rangka pembangunan umat dan bangs ini.
“Pertanyaannya, mengapa sampai saat ini mayoritas orang Islam belum memanfaatkan masjid sebagai pusat peradaban Islam?” tanya Assagaff.
Kenapa demikian, menurut dia, ada beberapa hal yang perlu kita kaji. Antara lain, manajemen pengelolaan masjid secara umum masih bersifat tradisional, masih kuatnya corak beragama secara simbolik formalistik dimana kita beragama hanya berhenti pada simbol dan ibadah-ibadah ritual saja. “Kita merasa hebat, jika sudah membangun masjid atau gereja yang mewah, walaupun tidak dimakmurkan dengan baik. Lalu masih kuatnya paradigma dan pemahaman agama kita yang bersifat keakhiratan saja, yang lebih berorientasi pada aspek-aspek ibadah ritual, ” terangnya.
Padahal selaku orang Islam, Assagaff katakan, di dalam kita berdoa, kita memohon kebahagiaan kehidupan di dunia, baru menyusul kebahagiaan di akhirat. “Kita mempersempit fungsi masjid hanya sebagai tempat pelaksaan ibadah-ibadah ritual, yang bukan hanya akan mengurangi fungsi masjid itu tetapi juga mendistorsikan atau menghilangkan fungsi dan peran masjid yang sesungguhnya, ” ujarnya.
Sebagai contoh, lanjut Assagaff, pada jaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menjadikan Masjid Nabawi di Madinah sebagai pusat pemerintahan selain sebagai tempat sholat. Begitu luasnya peran masjid itu, tambah Assagaff, maka pada masa Rasulullah dan para sahabat, tolong menolong di dalam kebajikan dengan berbagai kelompok yang berbeda dibangun melalui masjid sangat egaliter dan kosmopolit.
“Tak terkecuali kita di Maluku yang punya kecerdasan lokal (local genius) di dalam kita menata kehidupan bersama dan menjadi local wisdom (kearifan lokal) kita untuk menjadi nilai-nilai yang mengukuhkan persaudaraan. Hidup orang basudara, ” imbuhnya.
Dia juga menyebut budaya Masohi yang menjadi local wisdom, dimana umat beragama yang berbeda-beda ikut berpartisipasi dalam pembangunan masjid atau gereja. Terutama yang punya hubungan pela dan gandong, atau tetangga-tetangga negeri. “Karena itu melalui pencanangan tiang alif dan kubah serta peresmian Masjid Ishak Alhijriah ini, saya mengajak kita semua, mari badati, mari masohi, tolong menolong secara bersama-sama dengan Harta dan tenaga katong semua. Sehingg beta yakin rumah milik Allah ini cepat selesai. Karena membangun masjid bukan hanya membangun investasi akhirat tetapi juga membangun investasi bagi peradaban dunia, ” pungkasnya.(WM-UVQ)