Pilkada Maluku- Saat Interfensi Mengancam Penyelenggara Demokrasi

AMBON – Pemilihan umum (Pemilu), saat kedaulataan rakyat adalah jalan untuk memperoleh legitimasi dalam memegang tampuk tertinggi suatu pemerintahan yang sah di sebuah wilayah merdeka dengan sistim demokrasi terbuka.

Pemilu di harapkan dapat melahirkan pemimpin yang benar- benar di pilih oleh rakyat secara adil dan tidak di curangi oleh segala interfensi yang mengancam essensi dasar dari demokrasi, namun tak kurang juga pemilu lalu melahirkan perpecahan di suatu negara ataupun wilayah karena pemilu itu sendiri di curigai terdapat kecurangan akibat interfensi penguasa, kekerasan dalam berdemokrasi, politik uang dan politik identitas yang akhirnya membawa suatu negara atau wilayah di dalam satu negara dalam konflik yang berkepanjangan.

Pemilu pertama kali di selenggarakan di Indonesia pada tahun 1955 dengan di ikuti oleh 172 partai politik dan terdapat empat partai yang memperoleh dukungan terbesar, lalu pemilu pasca orde baru yang di selengarakan pada tahun 1971 dengan di ikuti oleh kontestan 10 partai politik, selanjutnya pemilu pada tahun 1977-1997 yang hanya di ikuti oleh 3 partai politik hingga pemilu pada tahun 1999 pasca pergolakan perjuangan reformasi di Indonesia yang di ikuti oleh 48 partai peserta pemilu, sementara pemimpin negara bahkan pemimpin di daerah pada saat itu di pilih oleh badan legislatif dan turunannya di tingkat daerah, hingga tahun 2004 barulah presiden di pilih langsung oleh rakyat.

Pemilu kepala daerah (pilkada), pertama kali di selenggarakan dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dengan provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai daerah yang pertama kali melaksanakan pilkada langsung pada tahun 2007 dengan mengacu pada UU 32 tahun 2004 dan UU No 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum.

Sejak saat itu sampai sekarang, kini pilkada serentak yang di mulai pada tahun 2015 dan pilkada serentak pada tahun 2018 ini, dengan di dasari pada UU No 10 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintahan pengganti UU (Perpu) No
1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU.

Kini tinggal menghitung hari dimana kita rakyat seluruh Indonesia yang wilayahnya akan melaksanakan pilkada serentak terlebih di provinsi Maluku di mana terdapat pemilihan Bupati dan wakil Bupati Maluku Tenggara, pemilihan Walikota dan wakil Walikota Tual serta pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur provinsi Maluku pada tanggal 27 juni tahun 2018 ini.

Harapan rakyat akan lahirnya pemimpin daerah yang baik dari proses demokratisasi lokal ini pun menguat di tengah pilihan yang di tawarkan dalam visi dan misi serta langkah- langkah besar dengan tema perubahan, namun juga yang harus menjadi konsentrasi rakyat saat mengikuti pesta demokrasi di daerah adalah lembaga penyelenggaraannya dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) serta Badan Pengawas pemilu (Bawaslu).

KPUD dan Bawaslu menjadi harapan terdepan dan terakhir dalam menjaga kedaulatan hakiki suara rakyat Maluku dalam menentukan pilihannya, sehingga KPUD dan Bawaslu daerah di harapkan agar menghindari dirinya dari interfensi politik apapun dan tindakan koruptif yang mengakibatkan kecurangan dalam proses Pilkada yang menjadi hajatan rakyat di bumi raja- raja
yang kita cintai ini.

Proses demokrasi yang terselenggara dengan baik, jujur, dan adil oleh lembaga penyelenggara akan menjadikan proses ini sebagai pelajaran yang baik untuk membelajarkan rakyat saat ini dan di masa depan, sebaliknya bila lembaga penyelenggara dan lembaga pengawasan lemah atau membiarkan dengan sengaja terjadinya kecurangan di dalam proses politik rakyat ini, maka akan muncul bukan hanya pemimpin daerah yang buruk kualitasnya namum juga menjadi preseden yang buruk terhadap berlangsungnya proses demokrasi yang tak bisa di jadikan pelajaran di masa depan oleh generasi kita ke depan.

Proses demokrasi yang sengaja dicurangi oleh lembaga-lembaga yang berkompeten di dalamnya bisa saja memunculkan perpecahan yang akhirnya menbelah rakyat akan perbedaan pilihan, yang mana bertentangan dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika’ serta jiwa Pancasila seluruh Rakyat Indonesia terlebih lagi rakyat di bumi Maluku.

Bersama- sama, kita seluruh rakyat, lembaga peyelengara dan pengawasan pemilu, calon kepala daerah serta perangkat pendukung calon kepala daerah haruslah mampu menjaga
esensi berdemokrasi yang didalamnya kita dapat melihat kedamaian, kesejahteraan dan masa depan yang baik di negeri orang basudara yang kita cintai ini.

Penulis: Raendra Manaha – Ketua LPPMSD

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *