Gubernur: MTQ di Namrole Harus Meninggalkan Jejak Peradaban

Gubernur: MTQ di Namrole Harus Meninggalkan Jejak Peradaban

NAMROLE,wartamaluku.com- Gubernur Maluku, Said Assagaff mengajak masyarakat di Kota Namrole, Kabupaten Buru Selatan (Bursel), menjadikan momentum Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di daerah ini, sebagai wahana berefleksi dan bertransformasi, agar MTQ ini dapat meninggalkan jejak-jejak peradaban. Pernyataan Gubernur Assagaff tersebut, disampaikan dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Wakil Gubernur Maluku, Zeth Sahuburua, saat membuka Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Provinsi Maluku ke-XXVII di Kota Namrole, Kabupaten Buru Selatan (Bursel), Minggu (30/4/2017) malam.

Menurut Assagaff, jejak-jejak peradaban itu, ditandai dengan terjadinya perubahan pola pikir, habitus (kebiasaan), karakter dan pola hidup. Baik sebagai pribadi, orang tua, anak, anggota masyarakat, warga negara, maupun pimpinan. “Yaitu adanya transformasi dari pemikiran yang sempit kepada pemikiran yang terbuka dan transformatif.

Dari budaya bakalae ke budaya baku bae. Dari budaya baku marah ke budaya baku sayang. Dari budaya talamburang ke budaya kalesang. Dari budaya makang puji dan tinggi diri ke budaya rendah hati. Dari budaya baku malawang ke budaya diskusi atau bacarita. Dari budaya kewel ke budaya baca-tulis dan budaya kerja,” paparnya. Dia menambahkan, transformasi juga misalnya dari budaya ambtenaar ke budaya wirausaha.

Dari budaya manggurebe ke budaya bakukele. Dari budaya takisu ke budaya percaya diri. Dari budaya sopi ke budaya kopi. Dari budaya parlente alias abuleke ke budaya jujur. Dari budaya galojo ke budaya baku bage. Dari budaya gerombolan ke budaya jama’ah, dan seterusnya.

Terbangunnya kesadaran transformatif seperti inilah, disebut Assagaff, yang diharapkan dalam rangka mewujudkan masyarakat Qur’ani atau masyarakat Madani. “Karena masyarakat yang Qur’ani atau Madani adalah masyarakat yang punya kesadaran transformatif untuk menjadi umat yang terbaik, punya konsistensi untuk selalu menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau punya kesadaran transformatif untuk menjadi masyarakat yang berkeadaban tinggi (bertamaddun),” tandasnya.

Pada masyarakat yang berkeadaban tinggi ini, Assagaff yakin, akan terpancar nilai-nilai ketauhidan yang kokoh, kasih sayang kepada semesta, kemanusiaan universal, kedamaian, persaudaraan sejati, kesetaraan, keadilan, kejujuran, serta tegaknya hukum. Dia menuturkan, bertolak dari kesadaran ini, maka melalui momentum pelaksanaan MTQ tingkat Provinsi ke XXVII di kabupaten yang berjuluk Lolik Lalen Fedak Fena ini, Assagaff ingin mengajak semua pihak, untuk sama-sama mempererat peratalian sejati “hidop orang basudara” untuk hidup saling memahami, saling mempercayai, saling menghormati, saling mencintai, saling membanggakan, saling menopang, dan saling menghidupi.

“Itulah sesungguhnya nilai-nilai keadaban yang diajarkan di dalam kitab-kitab suci agama dan para leluhur atau para datuk dan moyang kita, sebagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam budaya Kai Wai di pulau Buru, Pela dan Gandong di hampir semua kepulauan Maluku, Larvul Ngabal dan ‘Aini ain pada masyarakat Kei, Doan Lolat dan Kidabela di Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, Wari wa pada sebagaian masyarakat Seram Bagian Barat, dan Kalwedo pada masyarakat Maluku Barat Daya,” tandas Assagaff.

Kerukunan antara umat beragama dan persaudaraan sejati yang ditunjukan masyarakat Buru Selatan untuk sama-sama mendukung sukseskan MTQ ini, disebut Assagaff, adalah modal sosial yang harus kita lestarikan dalam rangka mengebangkan Maluku sebagai laboratorium kerukunan umat beragama terbaik di Indonesia. “Jika dewasa ini di beberapa wilayah di Indonesia atau negara di dunia, hubungan agama-agama sedang mengalami pendarahan yang cukup parah, tapi pada masyarakat Maluku hubungan agama-agama dewasa ini sangat rukun dan damai,” ujarnya.

Indikatornya menurut Assagaff, antara lain, menurut data Kementerian Agama RI, Maluku merupakan salah satu dari 3 provinsi yang memiliki indeks kerukunan tertinggi di Indonesia. Dimana Maluku menempati urutan ke 3 setelah Bali dan NTT. Selain itu menurut data hasil riset Setara Institut, kota Ambon dan Tual masuk 10 besar kota paling toleran, dari 94 kota yang diteliti.

“Semoga kerukunan kedamaian yang tercipta dewasa ini bukan sekedar honey moon (Bulan Madu), karena kemesraan dalam bulan madu itu sifatnya sementara, tetapi benar-benar abadi dan lestari,” ujarnya.(WM-UVQ)

Pos terkait