Ambon, Wartamaluku.com – Sikap keras Gubernur Maluku, Murad Ismail, terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti, bukan tanpa alasan. Selain janji Pemerintah Pusat menjadikan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) sejak tahun 2010 tak kunjung terealisasi dalam bentuk regulasi dan program kebijakan, juga karena Susi dianggap telah membohongi rakyat Maluku.
“Di depan paripurna istimewa DPRD Provinsi Maluku tanggal 11 Desember 2014, ibu Susi berjanji akan membantu Maluku memperoleh Rp1 Triliun sebagai implementasi dari program LIN dalam membangun industri perikanan di Maluku. Janji itu tidak pernah dia penuhi,” ungkap Murad di Ambon, Rabu (4/9).
Parahnya lagi, kata mantan Komandan Korps Brimob RI ini, draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang LIN yang semestinya sudah sampai ke meja Presiden sejak dua tahun lalu, hingga kini belum mendapat paraf (persetujuan) dari Menteri Susi. Padahal LIN sudah masuk dalam Renstra KKP tahun 2015-2019.
Susi dianggap tidak ikhlas bila Maluku menjadi LIN. Perpres tentang LIN sudah selesai diharmonisasi di tingkat Kementerian Hukum dan HAM, dan sudah mendapat paraf persetujuan dari Sekretaris Kabinet (Setkab) dan Menko Kemaritiman.
“Hanya tinggal paraf Menteri Susi saja, maka LIN menjadi sebuah produk hukum dalam bentuk Perpres. Ada apa dengan Susi? Sikap seorang menteri seperti ini yang menyebabkan Maluku dimiskinkan secara struktural,” kesalnya.
Kekesalan Murad juga karena selama ini regulasi dan kebijakan dari sektor perikanan sangat merugikan Maluku, diantaranya sistem dana bagi hasil (DBH) sebagai daerah penghasil, kewenangan perizinan, dan regulasi yang mengatur retribusi daerah. Setiap tahun triliunan rupiah dibawa keluar dari Maluku, tapi yang balik dalam bentuk DBH sektor perikanan tidak sampai Rp11 miliar, dengan rincian setiap kabupaten dan kota hanya memperoleh Rp983 juta.
Jumlah kapal ikan yang memperoleh izin operasi dari Pemerintah Provinsi Maluku pun tercatat hanya 288 kapal, karena adanya batasan dibawa 30 GT. Sementara jumlah izin kapal ikan yang dikeluarkan Menteri KKP untuk beroperasi di wilayah perairan Maluku, kata Murad, sebanyak 1.640 kapal.
“Anehnya, kapal-kapal ini tidak mempekerjakan orang Maluku, anak-anak daerah saya. Home based-nya pun menggunakan pelabuhan yang semestinya dilabuhi oleh kapal-kapal izin provinsi,” bebernya.
Begitu strategisnya perairan laut Maluku membuat daerah ini yang paling banyak berdiri Unit Pelaksana Tugas (UPT) KKP di daerah. Dari delapan UPT KKP yang ada, tujuh UPT lawannya diberikan oleh Pemerintah Provinsi Maluku.
Tujuh UPT KKP yang berdiri diatas lahan Pemerintah Provinsi Maluku antara lain Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, PPN Tual, dan Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Ambon. Hanya satu UPT yakni Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Ambon yang menggunakan lahan bekas Balai Ketrampilan Penangkapan Ikan (BKPI).
Menurut Murad, kebaikan Maluku termasuk potensi perikanan Maluku yang diambil selama ini, tidak sebanding dengan pendapatan balik yang diperoleh Maluku dari sektor ini.
“Kurang baik apa, Maluku? Jika pengelolaan potensi perikanan Maluku, masih tetap dibatasi hanya 12 mil laut, maka saya persilahkan Ibu Susi untuk bangun kantor-kantor UPT-nya di 12 mil laut juga. Jangan dibawah itu atau di darat karena itu masuk kewenangan kami, ” tegasnya.