Ambon,Wartamaluku.com – Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, optimis lewat talenta anak-anak di Maluku, daerah ini bisa menyinari Indonesia melalui kebudayaan. “Jika kita bisa memastikan bahwa talenta anak-anak yang ada di daerah ini, mendapat arahnya, mendapat jalannya, sehingga betul-betul bersinar. Maka Indonesia bisa disinari dari Maluku melalui kebudayaan,” ujar Hilmar Farid, saat membuka acara Karnaval Budaya Multietnik Nusantara dan Festival Musik Hawaiian 2017, di Lapangan Merdeka Ambon, Kamis (17/5).
Salah satu cara untuk memastikannya, menurut Farid, yaitu sudah saatnya ada sekolah seni di Maluku. Melihat kekayaan dan talenta anak-anak muda di daerah ini, menjadi satu alasan yang menurut Farid, membuatnya jatuh hati kepada Kota Ambon.
Padahal dia mengaku belum genap 12 jam berada di kota ini. “Sudah dipastikan, saya akan kembali pada waktu mendatang, di kota ini,” janjinya.
Dia juga mengaku sangat senang melihat anak-anak peserta karnaval, yang disebutnya luar biasa. Menunjukkan kreatifitas dan talenta yang luar biasa Farid juga mengucapkan banyak terima Kasih kepada Kota Ambon, yang menggelar Karnaval Multietnik Nusantara tersebut.
“Saya ucapkan terima kasih kepada masyarakat Kota Ambon. Saya lihat antusiasmenya luar biasa. Ini tanda kebesaran hati masyarakat di kota ini. Kebesaran hati seperti inilah, yang diperlukan Indonesia sekarang ini,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, dalam sambutan tertulisnya dibacakan Sekretaris Daerah Maluku Hamin Bin Thahir, Gubernur Maluku Said Assagaff katakan, refleksi dari karnaval dan festival ini, bertepatan dengan 200 tahun perjuangan pahlawan nasional Kapitan Pattimura, yang kita maknai bersama sebagai konsep kebangsaan yang menyatukan kita. “Musik adalah bagian dari budaya, karena itu musik dan kebudayaan merupakan identitas yang melekat pada visi kebudayaan kita bersama,” ujar Assagaff.
Provinsi Maluku, menurutnya, kini telah menjadi rumah bagi kita semua. Maluku bukan lagi ada, hanya untuk etnis Maluku saja. Namun telah memberi ruang bagi muncul dan berkembangnya kebudayaan suku bangsa nusantara. Hal tersebut, lanjut Assagaff, bisa dilihat dari beragam fam atau marga di daerah ini. Selain ada ratusan marga lokal, seperti Patty, Toisuta, Sahanaya, Sahetapy, Manuhuttu, Saiya, Riry, Wattimena, Pattikawa, Latuconsina, Wakanno, Madubun, Retraubun, Rahawarin, Kudubun, Rahayaan, Keliobas dan lain-lain.
“Terdapat juga puluhan hingga ratusan marga yang merupakan akulturasi dengan kebudayaan luar, misalnya dari Sulawesi Selatan, yang menggunakan marga Bugis atau Makassar. Dari Sulawesi Tenggara menggunakan La atau Wa di depan . Dari Sumatera menggunakan marga Padang, Palembang. Dari Arab ada yang menggunakan marga Assagaff, Alidrus, Alkatiri, Basalamah, Atamimi, Bachmid, Bahasoan dan lain-lain.
Dari Belanda ada yang menggunakan marga van Apel, van Brook, de Kock, Ramschy, Payer dan lain-lain. Dari Portugis ada yang menggunakan fam da Costa, de Fretes, de Lima dan lain-lain. Dan dari China ada yang menggunakan fam Liem, Kho, dan lain-lain,” paparnya.
Hal yang menarik lainnya, dari hasil akulturasi itu, kata Assagaff, muncul pelbagai khasanah seni budaya di daerah ini. Misalnya akulturasi budaya lokal dengan Islam atau budaya Arab, seperti Abdau di Negeri Tulehu, Pukul Sapu di Mamala – Morela, lalu tarian sawat dan sebagainya. Lalu, akulturasi budaya lokal dengan Arab dan Melayu, seperti tarian dana-dana.
Serta akulturasi budaya lokal dengan barat atau Eropa, sepert tari Katreji, tarian Orlapeij, tarian Cakaiba dan lain-lain. “Walaupun berbeda, kami semua merasa bersaudara atau Orang Basudara. Betapa pun berbeda tetap Beta Maluku. Merasa saling memiliki,” tandasnya.(WM)