AMBON—Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Maluku bersikap terkait eksploitasi gas di Blok Masela. HIPMI mendukung opsi floating LNG atau kilang terapung karena dianggap lebih memberikan manfaat kepada masyarakat dan daerah, ketimbang pilihannya adalah onshore LNG atau kilang darat.
Bergabungnya HIPMI dalam Koalisi MASELA untuk menyuarakan FLNG guna eksploitasi cadangan gas di Blok Masela karena telah mempertimbangkan banyak aspek.
Ketua Kompartemen Energi, Sumberdaya dan Mineral (ESDM) BPD HIPMI Maluku, Wempi Tarantein, kepada Cendana News di Ambon Jumat (5/2/2016) memberikan klarifikasi berbagai wacana yang menyebutkan Ketua Umum BPD HIPMI Maluku Boy Sangadji tak paham dengan Blok Masela, juga seakan-akan berpihak kepada pihak asing atau perusahaan operator Blok Masela, Inpex dan Shell.
“Sikap Ketum Boy adalah sikap HIPMI secara organisasi. Berdasarkan kajian dan data analisa kami, justru opsi kilang terapung nantinya lebih memberikan manfaat yang jauh lebih besar kepada daerah dan masyarakat,” kata Wempi Tarantein, Jumat (5/2/2016).
Dikatakannya, pembangunan kilang terapung jauh lebih murah dari kilang darat yakni bisa menghemat sampai dengan USD4,5 miliar atau Rp63 triliun. “Angka Rp63 triliun ini jumlah yang sangat besar dan akan berdampak signifikan terhadap pembangunan di Maluku, khususnya MTB dan MBD, bahkan termasuk Indonesia Timur,” katanya.
Dia membandingkan, nilai selisih itu sama dengan 38 kali nilai mega proyek di Indonesia Timur, yakni sama dengan 2 kali nilai proyek jalan Trans Papua, 5 kali nilai proyek jalur Trans Maluku yakni dengan membangun 1.105 kilometer jalan raya, 40 dermaga, hingga pengadaan 24 kapal penyeberangan laut. Nilai ini belum termasuk dengan 31 kali proyek pengembangan Ambon sebagai Waterfront City.
“Coba bayangkan saja kalau selisih nilai investasi itu dipakai untuk membangun Maluku, itu sama saja dengan lebih dari 35 tahun APBD Maluku. Tentu saja dengan adanya pembangunan itu, masyarakat jualah yang akan menerima manfaatnya secara ekonomi dan berkelanjutan,” katanya.
Selain itu, Wempi melanjutkan, pendapatan negara dari FLNG jauh lebih besar dan signifikan, dan tentu saja akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Pendapatan negara dari FLNG mencapai USD57 miliar, sedangkan ONLG atau kilang darat hanya USD48 miliar.
“Ada selisih USD9 miliar atau setara dengan Rp117 triliun perbedaannya. Keuntungan negara ini yang kemudian bisa dipakai untuk pembangunan dan akan berdampak pula bagi masyarakat,” jelasnya.
Dikatakannya, dengan adanya pengembangan FLNG maka akan terjadi peningkatan kapasitas industri galangan kapal dan fabrikasi nasional sehingga menjadi pemain kompetitif dalam rantai suplai global dan menjadikan Indonesia, khususnya Maluku sebagai poros maritim dunia.
Wempi berasumsi, seharusnya Maluku punya posisi tawar yang jauh lebih tinggi, apabila pemerintah dan masyarakat bersatu untuk dukung opsi FLNG.
“Minta pemerintah maupun perusahaan bangun politeknik kemaritiman, SMK-SMK berbasis kelautan, dan ini harus dibangun di MTB dan MBD, bukan di Ambon. Bila perlu bangun Fakultas tentang Migas di Unpatti, termasuk pula meningkatkan kapasitas Fakultas Teknik Perkapalan Unpatti. Dok Waeyame juga perlu ditingkatkan kapasitasnya karena kebutuhan doking dan galangan kapal nanti menjadi tinggi. Ini penting karena cadangan gas kita bukan saja di Blok Masela, ada beberapa titik lainnya yang sementara dan belum dieksplorasi. Dengan demikian, kita juga akan bersaing dalam menyediakan sumber daya manusia yang kompetitif dan memiliki keterampilan dibidangnya masing-masing,” ujarnya.
Berbeda dengan kilang darat, justru keuntungan akan diperoleh oleh kontraktor suplier pipa. Bayangkan saja, membangun pipa sejauh 165 kilometer dari Blok Masela ke Kepulauan Tanimbar atau Pulau Selaru itu nilainya USD1,2 miliar atau setara dengan Rp27,3 triliun, dan ini keuntungannya diperoleh oleh kontraktor pipa, bukan masyarakat.
“Kami juga heran, tiba-tiba ada pihak yang kemudian mewacanakan bangun kilang darat dengan sistem pipanisasi. Bahkan informasinya sudah ada yang lobi-lobi dengan pabrik pipa di China. Ini sama saja dengan mengail di air keruh, sehingga tidak salah muncul dugaan ada pihak-pihak yang ingin mencari fee dari permintaan pipanisasi. Bayangkan saja kalau mereka mendapat 5 persen dari Rp27,3 triliun sama dengan Rp1,3 triliun,” tegasnya.
Disamping itu, Wempi mengatakan, masyarakat lokal nantinya akan tersingkir dari kedatangan orang luar Maluku karena adanya konsekuensi penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil kajian HIPMI dan Koalisi Masela, kebutuhan tenaga kerja apabila dengan skema kilang darat mulai dari tahap konstruksi hingga tahap produksi yakni sebesar 851 ribu jiwa.
Sementara jumlah penduduk MTB dan MBD populasinya empat kali baru bisa mencapai jumlah itu. Penyerapan tenaga kerja untuk Maluku hanya akan mampu sebesar 200 ribu orang, sementara MTB dan MBD hanya bisa mampu menyumbangkan tenaga kerja 50 ribu orang.
“Pada akhirnya masyarakat kita yang akan tersingkir karena kalah bersaing dan harus bekerja sebagai tenaga kerja an-skill atau pekerja kasar, itupun belum termasuk kalah dari jumlah. Semakin tua, upahnya semakin murah. Berbeda dengan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan keterampilan khusus, semakin tua dan berpengalaman bayarannya semakin mahal. Selain itu, dengan opsi FLNG masyarakat kita tidak harus menjual tanah-tanahnya, apalagi karakter daratan kita hanya pulau-pulau kecil,” katanya.
Sementara pilihan membangun kilang terapung atau FLNG maka kebutuhan tenaga kerjanya mencapai 657 ribu. Penyerapan tenaga kerja ini sama dengan skema kilang darat, namun kebutuhannya menjadi tenaga kerja yang punya skill.
Dia mendorong agar pemerintah segera membangun SMK-SMK yang outputnya bisa langsung diterjunkan ke lapangan kerja. Pemerintah Provinsi Maluku maupun Pemerintah Kabupaten MTB dan MBD saat ini sudah harus memberikan beasiswa bagi anak-anak daerah berprestasi untuk kuliah di bidang migas sehingga saat mereka kembali bisa langsung dikerjakan. Membangun kilang terapung juga tidak akan membuat MTB atau MBD berkonflik soal kilang harus dibangun dimana.
“Kita masih punya waktu sampai tahun 2019 sampai 2021 untuk memasuki tahap konstruksi dan produksi. Kalau tidak salah, operator dari Shell juga akan menerapkan sistem mentoring yakni para tenaga ahli mereka akan mendampingi beberapa anak daerah sebagai mentor kerja singga mereka nantinya menjadi ahli di bidang migas,” kata Wempi.
Untuk itu, dia berharap, apabila ada pihak-pihak yang hendak mengkritisi sikap HIPMI terkait pilihan FLNG, sebaiknya mengajukan hasil kajian dan data pembanding. Bukan hanya berdasarkan argumentasi kosong dan tidak dilandasi dari hasil kajian maupun data yang bisa dianalisa.
“HIPMI adalah organisasi terbuka, siapa saja boleh mengkritisi sikap kami. Hanya saja kritik itu harus juga disertai dengan hasil kajian dan data, bukan argumentasi saja,” pungkasnya.
Jurnalis : Samad V. Sallatalohy / Editor: Gani Khair / Sumber foto: Samad V. Sallatalohy